"SANGGAR SAREH BUDOYO"
Kergan Rt 03 Rw 11 Tirtomulyo Kretek Bantul Yogyakarta
Kode Pos : 55772
Telp : (0274) 6460325

Hand Phone : 08156302495
Email :
Tardalang@yahoo.com

Friday, October 9, 2009

Gerongan

Gerongan adalah suatu tembang yang disuarakan oleh wiraswara pada waktu gending melantun.

Cakepan gerongan salisir :

  • Parabe Sang Smarabangun, sepat domba kali oya, aja dolan lan wong priya, gerameh nora prasaja
  • Garwa Sang Sindura Prabu, wicara mawa karana, aja dolan lan wanita, tan nyata asring katarka.
  • Sambung langu munggweng gunung, kunir wisma kembang rekta, aja nggugu hujarira, wong lanang sok asring cidra
  • Gentha geng kang munggwing panggung, jawata pindha Harjuna, jaman mengko kawruhana, wong wadon keh ngamandak

Cekapan kinanthi 1:

  • Punapata mirah ingsun, prihatin waspa gung mijil, tuhu dhahat tanpa karya, sengkang rinemekan Gusti, gelung rinusak sekarnya, sumawur gambir melathi
  • Upama tyase mangunkung, mulating sira dyah ari, sayekti melu mangarang, telase riris gumanti, ingkang tarangggana sumyar, remek dening salah kapti
  • Marmanta mangrurah gelung, lintange merang ningali, mring langening kiswanira, miwah kidang kidang isin, miyarsa ing swaranira, si kidang umpetan tebih
  • Tuwin kombang kombang geng kung, miyarsa swaranta yayi, kadi merange si kidang, anoning liringireki, mangkana susahing kidang, malah tyarsira lir kanin
  • Kabot kabotan lung gadhung, wekasan mungkret amuntir, mulat nggonira saduwa, malah malah cengkir gadhing, kang tiba mrih dherangkalan, umpetan mring jurang trebis

Cakepan kinanthi 2 :

  • Mideringrat hangalangut, lelana njajah nagari, mubeng tepining samodra, sumengka hanggraning wukir, analasak wanawasa, tumuruning jurang trebis
  • Sayekti kalamun suwung, tangeh miriba kang warni, lan sira pepujaningwang, manawa dhasaring bumi, miwah luhuring akasa, tuwin jroning jalanidi
  • Iku ta sapa kang weruh, nanging kiraning tyas mami, sanadyan ing bawana, anas kang madha warni, maksih sumeh semu sira, ruruh rarase respati
  • Myang dedeg pangadegipun, sedeng sedhete mantesi, sembada genging sarira, lelewane milangeni, wiraga raga karana, murwedah hyang hyanging bumi
  • Manis gapyak lukita rum, dhemes luwes merak ati, susila tyase ngumala, solahe nyudara werdi, jumawut geng kang salaga, pari kudu sun ngengeri

Cakepan kinanthi 3 :

  • Nalikanira ing dalu, wong agung mangsah semedi, sirep kang bala wanara, sadaya wus sami guling, nadyan ari Sudarsana, wus dangu nggenira guling
  • Kukusing dupa kumelun, ngeningken tyas sang apekik, kawengku sagung jajahan, nanging sanget hangikibi, sang resi Kanekaputra, kang anjok saking wiyati
  • Kagyat risang kapirangu, rinangkul kinempit kempit, dhuh sang retnaning bawana, ya ki tukang walang ati, ya ki tukang ngenesing tyas, ya ki tukakng kudu gering
  • Teka ndadak melu melu, kaya budhine wong ceplik, lali yen kalokaningrat, ing bawana amurwani, mustikaning jagad raya, dhemen lalen sanggarungi
  • Sun iki ngembani wuwus, Dewa Sang Hyang Hodipati, Bathara Suksma kawekas, sira ingkang den paringi, ingkang maosandilata, panguripe wong sabumi.

Sumber : sukolaras.wordpress.com

Tuesday, April 21, 2009

Negara Jadi Taruhan

Ki Taryono, Dalang Ruwat Bantul Jogjakarta:

“NEGARA JADI TARUHAN JUDI”

Betapa pun optimisnya sementara pihak terhadap Pemilu 2009, faktanya masyarakat resah oleh banyaknya calon legislatif yang tidak mumpuni. Banyak caleg tidak punya kapabilitas, kompetensi dan integritas. Diam-diam, money politik lalu dilakukan. Bak judi dadu Pandawa dan Kurawa, negara menjadi taruhannya.

POSMO-Sebelum kampanye damai jelang pileg 2009 dimulai, masyarakat sudah jauh hari mengetahui banyak calon legislatif dari berbagai partai melalui gambar-gambar atau baliho. Di antara banyak calon legislatif yang bermunculan, ada banyak caleg wajah baru. Ironisnya, sedikit saja caleg wajah baru itu yang dikenal masyarakat sebagai kapabel, kompeten dan berintegritas tinggi terhadap kesejahteraan bangsa dan negara. Sebaliknya, masyarakat dibuat resah oleh kemunculan caleg wajah baru yang sungguh sebelumnya tak pernah terlibat sama sekali dalam tata pemerintahan di tingkat dusun sekali pun. Bahkan, banyak caleg hanya berpendidikan menengah.

Beban target Pemilu 2009 dan pola pemilihan sekarang yang mendasarkan kekuatan partai pada keberhasilan para caleg-nya, membuat partai memunculkan banyak caleg. Sementara, jumlah partai sekarang jauh lebih banyak dari jumlah partai di zaman Pak Harto. Kebutuhan akan caleg pun meningkat. Ironisnya, SDM yang tersedia tidak mencukupi.. Alhasil, banyak partai asal comot orang untuk dijadikan caleg. Kompetensi dan kapabilitas bukan lagi syarat utama. Terpenting orang itu memiliki banyak massa. Jadilah, tak sedikit partai terpaksa mengambil caleg dari kalangan preman yang memang seringkali justru memiliki banyak teman atau massa.

Sebagaimana preman yang identik dengan Kurawa, tabiatnya suka berjudi untuk mendapatkan keuntungan dengan mudah tanpa kerja keras. Semangat menjagokan diri sebagai caleg pun lalu bukan soal perjuangan ideologi atau konsep membangun negeri. Melainkan sekedar untung-untungan. Persis sama dengan prinsip judi. Caleg yang demikian kemudian membagi-bagikan uang (money politic) sebagai modal taruhan. Jika menang, uang itu akan bisa dikembalikan dengan berbagai kuasa seorang anggota dewan. Kalau pun kalah, kekecewaan tak lebih dari sekedar kehilangan uang. Benarkah demikian?

Pandawa-Kurawa

Ki Taryono, Dalang Ruwat di Bantul-Jogjakarta kepada posmo mengatakan, pileg dengan cara-cara money politic bukan sekedar pertaruhan harta. Melainkan, nasib bangsa dan negara. Ibarat judi dadu antara Pandawa dan Kurawa, perjudian itu bukan hanya menimbulkan prahara politik saja. Tetapi, juga dendam kesumat Dewi Drupadi yang kehormatannya nyaris pula menjadi taruhan. Dalam lakon wayang, jelasnya, terbukti sifat Kurawa tak pernah bisa berubah. Selalu menggunakan cara-cara licik untuk meraih kekuasaan. Seperti itu pula sebenarnya isi jagat ini. “Ada Kurawa dan ada Pandawa”, kata dalang sepuh yang sudah mendalang sejak di bangku kelas IV SD, 1951 silam.

Dalam lakon wayang, sambung Ki Taryono, konflik antara Pandawa dan Kurawa berlangsung abadi. Sampai kemudian terjadi perang baratayudha yang mengakhiri segala konflik Pandawa dan Kurawa. Sejatinya, dalam perang maha besar itu semua kubu kehilangan negaranya. Kemenangan sejati hanya diperoleh Yudisthira. Kemenangan hakiki menuju Sang Khalik.

Apakah, bangsa ini akan bernasib sama dengan yang terjadi dalam lakon wayang?
Ki Taryono tak berani memastikan. Dengan kelembutan Jawa-nya, Ki Taryono hanya mengatakan, dibutuhkan panggraita batin lebih dalam untuk mengupas fenomena pileg 2009 ini.


Jika melihat jauh ke dalam realitas sosial-politik sekarang, gambaran Pandawa dan Kurawa memang terlihat jelas. Ada caleg yang benar-benar ingin merubah keadaan dengan semangat clean government dan menjauhi money politic. Ada pula caleg yang tak lagi punya rasa malu terhadap kekurang-layakan dirinya sendiri. Apakah ini pertanda perang baratayudha sebagaimana lakon wayang benar akan terjadi? Ki Taryono tak berani menjawab. KOKO T.

Sumber :http://derapkaki.multiply.com/journal
Tabloid Posmo Yogyakarta, Membuka Mata Hati

Gaya Ruwat Ki Taryono

Ki TARYONO
Dalang Ruwat Yogyakarta
UPACARA RUWATAN SETENGAH KELIR DI NGENTAK, BANGUNJIWA, KASIHAN, BANTUL

Asap kemenyan hampir memenuhi seluruh ruangan yang dijadikan tempat upacara ruwatan di Dusun Ngentak, Bangunjiwa, Kasihan, Bantul, Yogyakarta. Dilakukan oleh Ki Taryono Dalang Kondang dari Kergan, Tirtomulyo, Kretek, Bantul. Bau harum kemenyan demikian menyengat. Sajen ruwatan tertata dengan rapi pada enam buah meja. Sedangkan sajen lainnya diletakkan di tanah dan digantung di langit-langit tratag tempat upacara. Sebagian lagi digantungkan pada sisi kelir. Sementara itu di panggung, sang dalang dengan penuh keseriusan mementaskan lakon wayang Murwakala. Gambaran semacam itu secara umum juga dapat ditemukan di tempat upacara ruwatan yang lain di berbagai tempat di Jawa.

Pada upacara ruwatan semacam itu sajen yang disajikan untuk penyelenggaraan upacara ruwatan harus lengkap. Sajen itu di antaranya berupa tumpeng tujuh warna, tumpeng robyong, nasi ambeng lengkap dengan lauk pauknya, nasi gurih, ingkung ayam, pisang raja setangkep, cermin, gunting, pisau, nasi golong, boreh, beras dan uang sawur, 7 macam rujak, 7 macam jenang, jajan pasar, bantal, sapu lidi, pecut, kembang telon, uang wajib, kembang melati, kembar mayang, tumpeng kuning putih, tikar, kelapa gading, payung kertas, bakul dari bambu, siwur (gayung) kayu, ketupat, selongsong ketupat, sajen buwangan, pala gumantung, pala kesimpar, pala kependem, iwen-iwen (unggas), alat pertanian, gecok, padi, tebu, berbagai jenis kain, gudhangan, dan berbagai jenis burung khas peliharaan orang Jawa masa lalu (tekukur, perkutut, dan merpati).

Upacara ruwatan di Dusun Ngentak ini dilaksanakan untuk meruwat anak kedhana-kedhini yakni Siswinarno dan Siswinarni. Keduanya merupakan putra dari Bapak Praptosudiono. Kedhana-kedhini adalah istilah yang dikenakan pada dua orang anak, laki-laki dan perempuan dalam sebuah keluarga inti. Kedhana-kedhini dalam pandangan masyarakat Jawa termasuk salah satu kategori sukerta. Untuk itulah kedhana-kedhini termasuk kategori orang yang harus diruwat. Jika hal itu tidak dilakukan, maka dipercaya bahwa anak tersebut akan mendapatkan berbagai halangan di dalam perjalanan hidupnya. Dalam kerangka itu orang yang bersangkutan akan menjadi mangsa dari Batara Kala.

Batara Kala adalah raksasa anak Dewi Uma dengan Batara Guru. Dalam dunia pewayangan diceritakan bahwa pada suatu ketika Dewi Uma dan Batara Guru berjalan-jalan dengan menaiki Lembu Andini yang dapat terbang. Perjalanan mereka sampai di atas sebuah samudera luas. Hari itu telah menapaki waktu senja. Cahaya matahari senja yang menerpa tubuh Dewi Uma nampak mempesonakan di mata Batara Guru. Seketika timbul hasrat berahinya. Di atas punggung Lembu Nandi itu pula Batara Guru mengajak Dewi Uma untuk bersetubuh. Namun hal ini ditolak oleh Dewi Uma. Akibat nafsu yang tidak terbendung air mani Batara Guru jatuh di atas samudera. Cerita tentang kehadiran Batara Kala sendiri setidaknya bisa dilihat pada sumber-sumber seperti Kakawin Partayajna, Sudamala, Smaradahana, Krsnakalantaka, Kitab Manikmaya, Sarasilah Wayang Purwa, dan Serat Kandhaning Ringgit Purwa.

Mani yang jatuh di atas samudera ini akhirnya menjelma menjadi raksasa yang bernama Kala. Ia meminta makan jenis manusia kepada Batara Guru. Batara Guru mengijinkan dengan syarat-syarat tertentu, yakni orang-orang yang digolongkan sebagai orang sukerta. Orang-orang yang termasuk sukerta ini selain kedhana-kedhini di antaranya adalah ontang-anting (anak tunggal laki-laki dalam sebuah keluarga), unting-unting (anak tunggal perempuan), kembang sepasang (dua anak perempuan), pandawa (anak lima laki-laki semua), dan sebagainya.

Akan tetapi Batara Narada, yang mencermati syarat-syarat yang diajukan Batara Guru itu, menilainya masih terlalu longgar. Demi menyelamatkan manusia dari Batara Kala kemudian diusulkan agar Batara Wisnu turun ke arcapada untuk meruwat Batara Kala. Caranya, Batara Wisnu menyamar menjadi dalang dengan nama Dalang Kanda Buwana.
Pada suatu ketika Batara Kala mengejar seorang pemuda yang bernama Jaka Jatusmati untuk dimangsa. Setelah beberapa kali bersembunyi Jaka Jatusmati bersembunyi di arena pementasan wayang yang dilakukan oleh Dalang Kanda Buwana. Di tempat ini Jaka Jatusmati mendapat perlindungan dari Dalang Kanda Buwana. Bahkan ia juga diruwat dan diaku anak oleh Dalang Kanda Buwana.

Semua rajah yang ada di tubuh Batara Kala pun dibaca oleh sang dalang. Dengan demikian, Batara Kala mengaku kalah. Untuk itu Batara Kala diperintahkan untuk tinggal di Alas Krendawahana, sebuah hutan yang dikenal angker atau kerajaan jin, setan, hantu, dan sebangsanya. Dengan itu pula Batara Kala dilarang mengganggu anak/orang yang telah diruwat oleh sang dalang sebab setiap anak yang diruwat secara otomatis menjadi anak angkat dari dalang yang meruwatnya. Batara Kala bersedia tinggal di Alas Krendawahana dengan syarat minta didoakan Santi Puja atau mantra penyucian.

Pementasan wayang Murwakala di Ngentak tersebut disebut dengan pakeliran setengah kelir. Hal ini didasarkan pada alasan bahwa kelir yang digunakan untuk mementaskan wayang memang hanya digunakan setengahnya (dipelorotkan hingga separo). Sedangkan setengah bagian lainnya dibiarkan bolong atau terbuka. Alasannya, hal itu digunakan untuk tempat berdialog antara Dalang Kanda Buwana dan Batara Kala yang masuk ke arena pementasan wayang.

Pada prinsipnya urut-urutan acara upacara ruwatan adalah sebagai berikut. Pertama, pementasan wayang dengan lakon Murwakala. Pada pementasan itu semua orang yang diruwat duduk di belakang kelir dengan pakaian putih-putih (mori) untuk menandakan niat suci mereka. Di tempat itu mereka menyimak seluruh penceritaan sang dalang. Sesudah acara pementasan selesai orang yang diruwat dipotong ujung rambutnya oleh sang dalang. Ujung rambut ini nantinya akan dilarung bersama pakaian dalam dan kuku orang yang diruwat. Usai memotong rambut, orang yang diruwat dimandikan dengan air kembang sebagai bentuk penyucian diri. Setelah berganti pakaian kering mereka melakukan sungkeman kepada orang tua dan saudara tua. Acara ruwatan pun usai. Ayu, ayu swarga lan donya ginawe ayu……


Sumber : Tim Tembi: sartono, p.a. herjaka h.s
www.tembi.org

Saturday, October 27, 2007

Karno Tanding

Cerita buat El Fira
Fakultas Sastra Universitas Jember


Karno Tanding adalah suatu babak pertempuran terbesar Baratayudo di Padang Kurusetra. Pertempuran dua senopati pilih tanding yaitu Arjuno dari kesatrian Madukoro sebagai panglima perang Negara Amarta melawan Adipati Basukarno dari Awonggo sebagai panglima perang Negara Astina.
Arjuno
Arjuno atau janoko lahir dari rahim seorang Ibu bernama Kunti Nalibronto dengan Raja Astina Pandu Dewonoto. Satria panengah Pandawa.
Basukarno
Basukarno atau karno lahir dari seorang rahim seorang Ibu bernama Kunti Nalibronto dengan seorang Dewa bernama Bethoro Suryo atau Dewa Matahari. Jauh sebelum Kunti Nalibronto belum bersuami pernah bermain main dengan aji pameling (sebuah kesaktian yang mampu mendatangkan siapapun yang dikehendaki). Sehingga datanglah Bethoro Suryo. Melihat kemolekan tubuh Kunti, Bethoro Suryo jatuh hati sehingga Kunti mengandung seorang bayi yang kemudian dilahirkan melewati telinga sehingga anak tersebut diberi nama "Karno" yang berarti telinga. Sebagai seorang putri raja besar Kunti malu karena melahirkan seorang anak sedangkan dia belum bersuami, maka anak tersebut di larung di sungai gangga. Kelak bayi ini diketemukan dan dipelihara oleh seorang kusir kerajaan bernama Adiroto.
Karno besar menjadi satrio tangguh, pintar memanah muncul pada waktu Pendadaran Siswa Sukolimo. Sepintar Arjuno dalam memanah tapi tidak bisa ikut berlatih di Padepokan Sukolimo (Padepokan Resi Durno) karena bukan keturunan bangsawan. Karno di usir dari ajang Pendadaran Siswa Sukolimo karena bukan darah bangsawan. "Kamu Hanya Anak Seorang Kusir" kata Arjuno. Karno menjadi malu dan rendah diri sehingga pergi. Sebagai Satu-satunya Satria yang mampu menandingi kecepatan panah Arjuno, Karno dicari oleh Prabu Duryudono Raja Astina dan mengangkatnya sebagai Adipati di Awonggo. Sebuah Kadipaten di bawah kekuasaan Astina, sehingga Karno bisa berlatih di Padepokan Sukolimo.
Hati Seorang Ibu
Karno Tanding adalah Sebuah Pertempuran Dua Saudara Kandung Se Ibu tapi berlainan Ayah. Sama-sama Sakti, sama-sama pintar dalam memanah. Sama-sama mempunyai senjata Sakti dari Dewa. Kunti Nalibronto hanya bisa meneteskan air mata melihat kedua putranya saling bertempur. Sebelum pertempuran Baratayuda dimulai kedua ksatria ini pernah dipertemukan oleh Ibunya. Seorang Ibu yang lembut dan bijaksana ini rela bersimpuh di kaki Karno meminta ampun atas penderitaan karno karena telah dibuangnya dan memohon untuk bergabung dengan saudaranya di Pandawa atau Amarta. Karena Kunti tahu benar kalau pertempuran Baratayuda benar terjadi maka hanya Karnolah yang mampu menghadapi Arjuno, itu berarti kedua putranya akan saling berhadapan. Dengan arifnya pula Karno memohon maaf tidak bisa bergabung dengan Pandawa karena beberapa alasan :
"Ibu, ....... sama sekali saya tidak dendam atas perlakuan Ibu kepadaku, hanyutnya aku di sungai gangga sampai aku besar sekarang ini adalah garis hidupku. Aku menjadi Adipati dan hidup bahagia adalah karena Prabu Duryudono, aku tidak mau disebut Satria Pengecut hanya muncul ketika ada kesenangan tapi lari dari kesusahan. Apa kata dewa kalau aku nanti bergabung dengan Pandawa. Suatu saat seandainya aku harus bertempur dengan adikku Arjuno itu juga sudah kehendak para dewa. Sekali lagi saya mohon maaf ibu, Nyuwun Agunging Wiloso. Biarkan aku menentukan hidupku Sendiri. " ......Kata Basukarno.
Arjuno juga hanya bisa tertunduk menangis. Walau bagaimanapun Karno adalah kakaknya meskipun lain ayah, rasa menyesal yang mendalam telah mengusir dari pendadaran siswa sukolimo.
Tangis Kunti semakin menjadi mendengar Jawaban Karno apalagi melihat kedua putranya itu saling berpelukan. Ketiganya larut dalam tangis kebahagiaan, kesedihan, keharuan, kebingungan hanya bisa berpelukan satu sama lain.
Perang Baratayudo
Perangnya darah Barata itu pecah dan Basukarno muncul sebagai senopati Astina ketika senjatanya Kunto wijoyodanu tertancap di tubuh Gatotkaca. Tak ayal lagi kedua putra kunti itu pasti saling berhadapan. Ketika Sangkakala berbunyi ........
Karno muncul dengan kereta perangnya didampingi prajurit bayangkara Awonggo berada di tengah ribuan pasukan Astina. Sebagai seorang Senopati besar kereta Karno di kusiri oleh seorang raja besar dan sakti yaitu Prabu Salyo.
Arjuno muncul dengan kereta perangnya didampingi prajurit bayangkara Madukoro berada di tengah ribuan pasukan Amarta. Sebagai seorang Senopati besar kereta Arjuno di kusiri oleh seorang raja besar dan sakti yaitu Prabu Kreno.
Ketika pertempuran terjadi dengan hebatnya terjadi keanehan dua ksatria yang lihai dalam memanah itu saling menghujankan anak panah tapi tidak satupun mengenai keduanya. Kadang berhenti kemudian saling pandang, saling meneteskan air mata. Prabu Salyo dan Prabu Kresno keduanya tahu, kedua putra kunti itu tidak saling tega untuk membunuh bahkan melukai sekalipun sehingga tidak satupun panah tepat sasaran.
Ketika sehari penuh saling bertempur, saling mengeluarkan senjata saktinya, saling menghujankan panah tapi tidak satupun yang mengenai tubuh. Prabu Kresno sebagai kusir Arjuno dan botohnya Amarta (Pandawa) Tahu persis senjata Pasopati yang dipasang di gandewa Arjuno. Maka Tali kendali kuda disentak sehingga kuda bergerak kedepan tepat ketika Pasopati terlepas dari gandewa yang semula diarahkan hanya di depan Karno tapi karena kereta bergerak kedepan maka Senjata Sakti Pasopati tepat mengenai leher Adipati Basukarno. Anak Dewa Surya itu tersungkur mengenai kereta sehingga kereta hancur. Pasukan Amarta Gemuruh Sorak sorai sebaliknya Pasukan Astina terdiam mundur melihat sedih Senopati Besar Astina gugur di medan Pertempuran Padang Kurusetra.
Paseban Amarta
Malam hari ketika parepatan para senopati di tenda pasukan Amarta Arjuno marah besar kepada Prabu Kresno karena Pasopati sebenarnya diarahkan tidak untuk mengenai Karno tapi karena gerakan kereta ke depan sehingga panah Pasopati pas mengenai leher Kakaknya Adipati Karno. Sebagai keturunan Dewa Wisnu Prabu Kreno lalu memberi nasehat dengan bijaknya "Ketika pertempuran semakin lama akan semakin banyak pasukan kedua belah pihak gugur yang berarti rakyat juga yang menjadi korban". Sambil meminta maaf Kresno berucap " Ini pertempuran Dimas, ketika ada senopati yang gugur itulah tugas mulia yang diembannya."
Paseban Astina
Malam hari ketika parepatan para senopati di tenda pasukan Astina. Semuanya tercenung, terdiam terlihat beberapa senopati belum kering air matanya. Ketika Prabu Duryudono mulai bersabda siapakah yang menjadi senopati selanjutnya. Mahapatih Haryo Sengkuni Mengusulkan Prabu Salyo sambil berucap bahwa kematian Senopati Basukarno karena perbuatan Prabu Salyo yang sengaja menggerakan kereta kedepan sehingga panah Arjuno tepat mengenai leher Karno. Prabu Salyo marah besar pada Mahapatih Haryo Sengkuni hampir terjadi perkelahian seandainya itu bukan di pasewakan dan Prabu Duryudono tidak melerai. Dan memang kemudian ditetapkan Prabu Salyolah yang menjadi Senopati selanjutnya.
Arti Pertempuran
Pertempuran, peperangan, perkelahian dan apapun itu namanya adalah simbol nafsu manusia yang tidak pernah mau mengerti tentang peradaban yang Agung di bumi ini. Selama kita masih merasa hebat masih merasa kuat dan masih merasa segalanya, selama itu pula hidup kita tidak akan pernah damai dan tentram. Perbaiki Ibadah ! Mendekatkan diri pada Siapa yang telah menciptakan diri kita adalah jalan yang benar untuk hidup manusia.
Yogyakarta, 25 Oktober 2007
Sanggar Sareh Budoyo
Ki Taryono

Thursday, May 3, 2007

Putro Mantu

Anak Mantuku .....

  1. Suharyono, S.E. Suami anakku yang pertama, bekerja sebagai Kepala Unit BRI Cabang Wonosari Yogyakarta.
  2. Tumirat, S.E. Suami anakku yang kedua, bekerja sebagai Kepala BMT Ikhwanul Hasanah di Klaten.
  3. Drs. Sudarmanto, Suami anakku yang ketiga, semenjak tidak menjadi anggota legislatif mengelola Mini Market "Toko Pak Wiryo".
  4. Sulistiyanti, A.Md. Istri anakku yang keempat, mengelola ruko dan wartel "Toko Khrisna".
  5. Dra. Suharyati, Istri anakku yang kelima, mengabdikan diri sebagai PNS di Sukabumi.
  6. Hapsari Peni Wulandari, S.E. Istri anakku yang keenam, bekerja di Qyta Internasional.
  7. Purnomo, S.H. suami anakku yang ketujuh, menglola "Toko Pertanian Lina" disamping mendirikan pencetakan obat pertanian.
  8. Lusi Damayanti, S.Kom. Istri anakku yang ke delapan si ragil. Bekerja di Dispenda Pemda Kota Sukabumi

Syang Hyang Ismoyo



Syang Hayang Ismoyo.....
Syang Hyang Ismoyo sering dipanggil semar adalah seorang dewa yang bertugas mengawal ksatria penegak kebenaran sehingga hidupnya di dunia atau alam marcopodo menjelma sebagai titah.
Lahir ...
Terlahir dari sebuah telor yang menjelma menjadi tiga dewa Syang Hyang Ismoyo, Batara guru dan Togog. Sering menjadi tepo palupi manusia zaman sekarang karena sebagai dewa dia lebih milih menjadi titah yang menjauhi kehidupan glamor duniawi, hidup tanpa harta dan kekuasaan selalu menjadi pelita para ksatria.

Syang Hyang Jagat Noto

Syang Hyang Batara Guru ....
Penguasa kayangan jonggring saloko pengatur seluruh kehidupan alam raya Marcopodo, mempunyai kesaktian tanpa tanding beristrikan dewi umo atau Betari Durga.
Lahir ...
Terlahir dari sebuah telur yang pecah dan menjelma menjadi tiga dewa yaitu Syang Ismoyo atau semar, Syang Guru dan Togog. Sebagai Dewa tidak akan hilang ketika seluruh kehidupan ini musnah.

Gathotkoco

Raden Gathotkoco.....
Satria Pringgondani putra Raden Werkudoro dan Dewi Arimbi. Mempunyai kesaktian setara dewa. Mempunyai Aji Norontoko yang mampu melebur gunung anakan, mampu terbang karena mempunyai kutang ontrokusumo dan sumping basunondo. Pernah menjadi Jago para dewa.
Lahir ...
Lahir dari rahim Dewi Arimbi tak ada senjata yang mampu memutus tali arinya kecuali senjata kunto, sehingga warangkanya terbenam di dalam perutnya.
Gugur ...
Gugur di padang kurusetra ketika terjadi pertumpahan darah barata antara Pendawa dan Astina melawan Basukarno dari Awonggo. Meskipun sudah tahu akan gugur tapi tetap "NETEPI DHARMANING SATRIO"

Wednesday, May 2, 2007

Aku Sekarang

Aku Sekarang ........
Sujud syukur ingkang Moho Kuoso ingkang sampun tansah lumintu maringaken hidayah, bagas waras sedoyo keluargo. Saenggo pinaringan kekuatan iman lan taqwa.
Di senjaku sekarang aku ingin ada penerus Dinasti Sareh.....Padepokan Seni yang dulu di tahun 1966 pernah sebagai tempat ngumpulnya seluruh seniman pedalangan yogyakarta.